0

(PART 2) Terjebak Hujan: Awal Kisah Asmara Si Gadis SMA dan Pria Paruh Baya

"koi wa ameagari no you ni" adalah sebuah anime romance dengan latar Jepang era modern. Ceritanya menyajikan kisah cinta antara seorang gadis SMA dan pria paruh baya berusia 45 tahun. Meski terdengar 'aneh' dan 'unik', tapi malah itu yang mendorongku untuk menontonnya.

Ekspektasi awal terhadap anime ini, awalnya terasa aneh dan tidak biasa. Namun, semua keraguan itu mulai luntur seiring dengan perkembangan cerita di setiap episode.

Kisah cinta mereka dimulai ketika Tachibana Akira, gadis SMA, datang ke sebuah restoran keluarga saat hujan lebat. Tachibana, yang sedang bersedih, tidak memesan apa-apa dan hanya duduk termenung sendirian. Hal ini membuat Masami Kondou, pria paruh baya sekaligus manajer restoran, memberikan layanan gratis berupa kopi dan menunjukkan trik sulap kecil ketika menyajikannya.

Dengan racikan visual, suasana, dan musik yang pas, adegan yang seharusnya biasa-biasa saja itu berhasil memikat perhatianku, hingga membuatku berpikir bahwa itu adalah alasan yang masuk akal sebagai trigger perasaan suka Tachibana terhadap Masami.

Singkat cerita, dengan rasa suka Tachibana kepada pakde Masami (mungkin kagum, tertarik, atau bahkan rasa gabut), Tachibana mengambil langkah besar dengan melamar  sebagai pekerja paruh waktu di restoran tempat Masami bekerja dengan harapan agar bisa lebih dekat mengenalnya.

Tachibana dan Masami sama-sama memiliki impian yang belum tercapai, kesamaan ini yang menjadi salah satu pondasi cerita kedepannya. 

Tachibana, yang dulunya atlit lari andalan di klub lari sekolah, mengalami cedera serius dan memutuskan untuk keluar dari klub. Trauma fisik dan psikis menghantuinya, membuatnya pesimis untuk bisa pulih sepenuhnya. Impiannya sebagai atlit profesional pun kandas dan hampir mustahil untuk dicapai.

Di tengah perjuangan emosionalnya, secara tak sengaja Tachibana menemukan kenyamanan di sebuah restoran keluarga dan menjadi awal kisah asmara dengan Masami, si manajer.

 

0

(PART 1) Menapaki Jejak Waktu: Pengalaman Menonton Ulang 'Ameagari no You ni'




Setiap kali aku membaca ulang sebuah novel atau buku, aku selalu mendapatkan hal baru tiap kali aku mengulangnya. Rasanya seperti ada detail yang terlewat, atau bahkan aku tidak sadar bahwa tulisan atau kalimat menarik ada disitu sebelumnya.

Hal ini juga berlaku untuk tontonan anime movie/series. Dalam kasusku, fase awal bacaan atau tontonan mengarahkan fokusku pada plot cerita yang menarik. Entah karena aku bodoh atau lamban, tapi hanya pesan-pesan umum yang bisa aku tangkap dalam setiap adegan atau kalimat.

Hal baiknya adalah bahwa itulah pemicunya, plot yang segar dan menarik menggodaku untuk membaca dan menonton ulang cerita tersebut. Hingga pada suatu titik aku mulai memahami sebuah pola yang selalu berulang dimana akan selalu ada pengetahuan baru pada tiap pengulangan.

Belakangan ini, aku menonton kembali anime ameagari no you ni (after rain/setelah hujan). Setelah sekitar empat tahun lalu aku pertamakali menonton ini, kali ini adalah tontonan keempatku.

Dalam tulisan ini, aku akan menceritakan kesanku dalam tiap kali tontonan berikut fokus dan detail apa yang mampu aku tangkap. Menariknya, aku melihat ada perbedaan interpretasi pada tiap pengulangan berdasarkan kondisi mental, pemahaman intelektual, dan juga umurku.

Akan aku tulis opiniku dalam beberapa kali postingan kedepan dengan ini sebagai pembukanya. Aku berharap kalian juga akan menonton animenya suatu saat. Sampai bertemu di postingan selanjutnya. Adios!

0

Mengenal Meme: Bentuk Penyuaraan Ide Sebagai Cermin Kebudayaan Manusia Modern

 

Internet memiliki peran besar dalam gaya hidup manusia dalam dua dekade terakhir. Sejak pertamakali populer dan digunakan secara masif pada awal 2000-an sampai sekarang, dia telah banyak merubah gaya interaksi manusia. Hingga pada akhirnya seperti yang kita lihat sekarang betapa mudahnya terkoneksi dengan orang banyak bahkan dari tempat yang amat jauh sekalipun.

Salah satu jenis konten yang sering kita temui saat berselancar di internet adalah meme. Meme ini biasanya muncul di beranda dan timeline media sosial, dan bisa ditemukan di akun-akun komedi yang mengunggah gambar-gambar atau video lucu.

Meme ini sekilas mungkin terkesan sebagai produk hiburan ringan manusia modern, salah satu konsekuensi dari proses perubahan interaksi manusia karena internet seperti yang sudah disinggung di awal. Namun, jika kita kupas lagi, mungkin saja muncul sebuah kesadaran bahwa mereka memiliki makna yang lebih dalam daripada yang kita kira. Bahkan, saya pikir meme telah mengalami pergeseran makna yang menarik dalam persepsi masyarakat berdasarkan kosa kata aslinya.

Meskipun tulisan ini terkesan bertema tentang teknologi dan hiburan, sebenarnya meme ini ada kaitannya dengan bidang ilmu antropologi. Meme pada mulanya adalah konsep dan kosa kata yang pertama kali diperkenalkan oleh Richard Dawkins, seorang penulis jenius asal britania raya. Dalam bukunya "The Selfish Gene" (1976), Dawkins menggambarkan meme sebagai ide atau gagasan manusia yang memiliki power untuk berdampak besar bagi perubahan sosial.

Makna dari ide tau gagasan yang dimaksud Dawkins ini sangat luas, bisa saja berupa kebiasaan, sudut pandang perseorangan, hingga kejadian umum. Asalkan ide atau gagasan itu bisa membuat orang saling merasa terhubung, pola itu bisa disebut sebagai salah satu bentuk bangunan dari konsep meme yang dimaksud Dawkins. Semakin banyak orang yang merasa terhubung, semakin kuat dan tahan lama meme tersebut.

Dewasa ini, kosa kata meme merujuk pada gambar dengan tulisan atau berupa video. Artinya, ada pergeseran makna yang fundamental berdasarkan tulisan Dawkins tentang apa itu meme.

Sebagai contoh, cobalah perhatikan meme ini:

Meme itu menggambarkan tentang seorang pria tidur di luar rumah dengan tulisan "sedang bersantai setelah menang debat dengan istri”. Menunjukkan bahwa si pengunggah sedang menyuarakan pengalamannya tentang perdebatan dalam rumah tangga. Meski penggambaran terkesan hiperbola dan dilebih-lebihkan namun alih-alih menjadi monoton dan membosankan malah membuat pesan yang ingin disampaikan menjadi lebih menarik perhatian. Hal ini membuat banyak orang akan lebih mudah untuk mengorek ingatan mereka tentang pengalaman yang sama.

Di sisi lain tidak semua orang akan merasakan keterhubungan dengan setiap ide atau gagasan. Misalnya saja dari contoh tadi orang yang belum punya pasangan seperti anda, tidak akan pernah merasakan pengalaman pertengkaran hubungan.

Lalu, apakah orang yang tidak merasa terhubung dengan suatu ide atau gagasan berhak menyebut itu sebagai bukan meme? Apakah meme itu suatu konsep utuh yang dipaksakan pemaknaannya dalam sebuah objek yang saklek seperti gambar atau video?

Dawkins mengatakan bahwa perkembangan meme mirip dengan seleksi alam, seperti dalam teori evolusi Darwin. Ide dan gagasan akan bertahan jika banyak orang yang merasa terhubung dengannya, namun akan pudar jika tidak ada lagi yang merasa terhubung. Dengan kata lain, meme tetaplah meme meski tidak ada yang sepaham dengan sebuah ide tau gagasan tertentu. Bergantung pada tingkat kedalamannya serta teknik penyajian yang tepat, mungkin saja suatu ide tau gagasan bisa menciduk lebih banyak frekuensi pemahaman yang sama di luar sana.

Apakah kamu punya ide atau gagasan yang ingin dituangkan dalam sebuah ‘meme’?

0

Asal-usul Sabun


Pernahkah kamu membayangkan, bagaimana hidup tanpa sabun? Kira-kira 4.000 tahun yang silam, orang Hittite yang hidup di tempat yang kini namnya Turki, biasa mencuci tangan dengan air yang di beri abu sejenis tanaman, sebab belum ada sabun.

Belasan abad kemudian, orang Yunani dan Romawi yang berkebudayaan tinggi pun belum mengenal sabun. Padahal orang-orang itu cinta kebersihan. Kalau mandi, mereka mengerik dakinya dengan semacam pisau.

Karena belum ada sabun, pakaian orang Romawi di cuci dalam larutan alkali, di endam dalam air seni di injak-injak lalu di bilas dengan air. Konon air seni berkhasiat memutihkan. Binatu di Roma sampai-sampai membuka tempat buang air kecil untuk umum, demi bisa memperoleh cukup air seni.

Kira-kira 600 tahun sebelum masehi, para pelaut Funisia sebuah tempat yang kini disebut Libanon, Suriah, dan Israel mulai mengenal “nenek moyang sabun”. Mereka merebus lemak kambing dengan air dan abu sampai menjadi semacam salep.

Orang Gaul di daratan Eropa juga mengenal salep yang sama. Bukan untuk mandi, tapi untuk meminyaki rambut supaya berkilat. Lewat orang gaul yang di anggap barbar inilah orang Romawi yang tinggi kebudayaannya mengenal sabun. Awalnya mereka memekainya untuk mencuci luka-luka dan menanggulangi penyakit kaki gajah, bukan untuk mandi, walaupun kemudian di anjurkan untuk keramas.

Pada masa yang di sebut Zaman kegelapan (menjelang pertengahan abad I – IX), kebersihan dan ilmu pengetahuan terbengkalai. Baru pada abad X sabun mulai mendapat perhatian lagi, yaitu ketika orang mulai menyadari kaitan kebersihan dengan kesehatan.

Membuat sabun, seperti membuat lilin, Mempergunakan lemak hewa dan minyak. Tidak heran kalau para pembuat lilin juga merupakan pembuat sbun. Abad XVI sabun sudah umum di pakai oleh orang kaya. Cuma mereka yang mampu membelinya mungki juga mereka lebih sadar akan kebersihan daripada rakya jelata. Kemudian para petani pun kenal sabun. Mereka membuat sabun salep sendiri, sepeti terkenal dengan seri rumah kecil-nya itu.

Kemudian, sabun di bentuk padat, berupa bongkahan besar dan diberi warna serta wewangian. Sabun ini di jual kiloan. Baru kira-kira tahun 1830-an ada sabun yang di, tapi ada bentuk seperti kotak yang sama besarnya dan di bungku satu-satu.Namun tiap kotak beratnya masih 0,5 kg! Kira-kira 15 tahun kemudian muncul sabun bubuk, tapi bukan deterjen.

Sebelum di anggap penting untuk kebersihan badan dan kesehatan, sabun di anggap barang mewah. Karna itusabun di kenekan pajak tinggi di Inggris sejak1712. Hampir satu stengah abad  kemdian, tahun 1853, perdana mentri Gladstone didesak rakyat agar menghapuskan pajak sabun demi menjaga kebersihan. Ia terpaksa menurut. Industri sabun tumbuh di mana-mana. Sabun menjadi lembut, murni, dan harum. Umumnya berbentuk kotak, tapi ada pula yang bulat bundar, meniru bentuk binatang, bahkan ada sabun cair,sabun bentuk kertas , dan sebagainya. Warna, harum, dan kandungannya bermacam-macam. Harganya ada yang mahal, ada yang murah. Yang jelas di kampung maupun di kota kini kita mandi memakaisabun untuk menghilangkan kotoran dan bau. Hidup tanpa sabun? Uh, tidak terbayang joroknya!

Sumber: Ditulis kembali dari buku “Asal-Usul”

 

 

Back to Top